Kamis, 25 Juni 2015

Meraup Jutaan Rupiah dari Bisnis Sedot Tinja

Bisnis tinja telah mengalirkan keuntungan ke kantong Wahyu Susilo. Selain mempunyai pangsa pasar yang luas, si kuning lembek nan bau ini juga menghasilkan keuntungan yang maksimal. Berkat bisnis inilah Wahyu melangkah ke bisnis perhotelan.

Umumnya orang akan menjauhi tinja. Selain najis dan menjijikkan, bau yang disebarkan benda berwarna kuning lembek ini bisa membikin mual orang yang menciumnya. Tapi, bagi Wahyu Susilo, pengusaha kelahiran Solo, kotoran manusia tak ubahnya bongkahan emas yang bisa mendatangkan uang. Malah, dari bisnis yang dilakoninya selama seperempat abad itu, Wahyu mampu mendirikan hotel mentereng di kawasan elite Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya.

Wahyu sendiri sebenarnya tak pernah membayangkan bisnisnya bakal sukses seperti sekarang. Maklum, bisnis sedot limbah yang dilakoni sejak 1975 itu datang dari sebuah ketaksengajaan. Ketika itu Wahyu kebingungan karena tukang sedot tinja yang dipanggilnya tak kunjung datang. Padahal, WC rumahnya sudah penuh dan mampat hingga tak bisa digunakan. Seminggu lebih saya menunggu, tukang sedotnya tak datang juga, ujar Wahyu.

Segala upaya dan cara sudah dilakukan Wahyu untuk memanggil tukang sedot tinja. Ia juga tidak ragu-ragu mengeluarkan uang ekstra agar si tukang sedot tinja mau datang. Tapi, ya itu tadi, kesabaran Wahyu habis juga setelah tukang tinja yang ditunggu selama beberapa hari tidak datang. Saking tak tahan, ia akhirnya memanggil tukang sedot WC tradisional untuk menguras septictank. Kalau enggak, gimana saya kalau mau kebelakang, ujarnya kesal.

Tak disangka, peristiwa yang terjadi 27 tahun silam itu menjadi awal bisnis tinjanya. Dari kejadian tersebut, Wahyu sadar bahwa belum banyak orang yang menggeluti bisnis sedot tinja. Di Surabaya, ketika itu, memang hanya ada dua perusahaan penyedotan tinja. Melihat peluang yang masih terbuka lebar, Wahyu pun memutuskan untuk terjun di usaha yang satu ini. Dengan jumlah pemain sedikit dan permintaan banyak, pasti untungnya besar, pikirnya kala itu.

Untuk mewujudkan impiannya, Wahyu pun mendatangi sopir truk sedot tinja yang pernah diberinya uang. Dari melihat-lihat truk tinja dan keterangan sang sopir, ia baru tahu bahwa modal yang dibutuhkan untuk membeli truk dan peralatan penyedot tinja ternyata tidak sedikit. Untuk membeli truk dan peralatannya paling tidak dibutuhkan dana Rp 11 juta. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran saat itu. Dari mana uang segitu, saya ini hanya sopir bemo, ujarnya.

Meski begitu, Wahyu tak mengurungkan niatnya untuk menekuni usaha penyedotan tinja. Dari hasil menjual bemo dan menguras tabungannya, akhirnya terkumpul modal Rp 1 juta. Ternyata dana tersebut hanya cukup untuk membeli truk Thames buatan tahun 1950 dan peralatan sedot tinja yang telah diperbaiki. Truk tua dan peralatan tinja ini dibelinya dengan harga Rp 750.000. Tak hanya itu, untuk lebih memperlancar penerimaan order, Wahyu juga memasang telepon. Total modal yang saya keluarkan Rp 1 juta pas, ujarnya.

Dengan bendera PT Tinja, Wahyu mencatatkan perusahaannya menjadi perusahaan ketiga di Surabaya yang menerima order sedot tinja. Hanya, karena modalnya pas-pasan, Wahyu terpaksa menjadi sopir sekaligus tukang sedot kakus. Bahkan, istrinya pun turut membantu melancarkan usaha ini. Ia cukup di rumah, yang merangkap sebagai kantor, untuk menerima dan mencatat order, kata Wahyu. Mungkin, karena belum banyak pesaing, order sedot tinja yang masuk ke PT Tinja terus mengalami kenaikan. Setiap hari, perusahaan ini rata-rata menerima 20 kali sedotan, sedang jumlah kotoran manusia yang disedotnya mencapai 40 m3.

Banyaknya order yang masuk, tentu saja membuat kantong Wahyu makin tebal. Terbukti, hanya dalam waktu setahun, ia mampu menambah armada truknya sampai tiga buah. Wahyu juga mulai mampu mempekerjakan pegawai. Sembilan tahun kemudian, 1984, jumlah armadanya sudah 10 buah dengan kapasitas penyedotan 60 m3 tinja. Tapi, sukses yang diraih Wahyu tak membuat senang tetangganya. Mereka protes karena bau, banyak lalat, dan sebagainya. Intinya, mereka merasa jijik dan malu bertetangga dengan tukang sedot WC, ujarnya.

Baca juga: Jasa Perbaikan Saluran Mampet

Lantaran banyak diprotes tetangga, Wahyu akhirnya memutuskan untuk pindah ke Jalan Mayjen Sungkono. Menempati tanah seluas 330 m2, usaha Wahyu semakin moncer. Order penyedotan tinja seolah tak pernah habis. Setiap hari, satu truk bisa 15 kali menyedot, ujarnya bangga. Kini, tak hanya kotoran dari rumah ke rumah yang menjadi langganan Wahyu, hotel-hotel berbintang pun menjadi pelanggan PT Tinja. Saking banyaknya order yang masuk ke PT Tinja, orang Surabaya pun mengenal Wahyu sebagai Raja Tinja.

Hotel itu dibangun dari kotoran manusia

Sering keluar masuk hotel berbintang, Wahyu mulai melirik bisnis ini. Niat saya hanya kepingin punya hotel dan menikmati rasanya punya hotel, cerita Wahyu tentang hotelnya. Dengan membeli tanah 1,2 ha di seberang PT Tinja, pria Solo ini mengawali bisnis hotelnya. Hanya, niat mendirikan hotel sempat terpendam lantaran tak memiliki cukup modal. Tapi, keberuntungan berpihak pada Wahyu. Bank Bukopin menawari pinjaman, ujarnya.

 Dengan modal pinjaman Rp 11 miliar dan tabungan Rp 2 miliar, akhirnya Wahyu bisa memiliki hotel bintang tiga dengan 154 kamar tidur. Satelit, nama yang diberikan Wahyu untuk hotelnya, merupakan akronim dari Sari Tinja Elit. Nama ini sengaja dipilih lantaran tak banyak orang percaya dengan niat Wahyu untuk membangun hotel. Ketika itu banyak orang mengejek, mana bisa telek jadi hotel, katanya, Lagi pula nama itu merupakan wujud cinta saya pada tinja. Kini, di tengah bisnis hotel yang sedang muram, Hotel Satelit boleh dibilang tak pernah sepi. Bekerja sama dengan agen perjalanan wisata, tingkat hunian Satelit bertahan di angka 50%. Tak puas berbisnis hotel, Wahyu berencana mendirikan sekolah perhotelan Satelit. Rencana lainnya, membangun pabrik pupuk yang memakai bahan baku tinja. Bagi saya, tinja ini emas lembek yang memberikan emas beneran, ujar Wahyu.

Keberuntungan Raja Tinja

Menjadi pengusaha sukses seperti sekarang jauh dari angan-angan Wahyu Susilo. Maklum, sebelum menjadi pengusaha tinja, lulusan Sekolah Pelayaran Surabaya ini cuma pegawai rendahan di perusahaan pelayaran Djakarta Dloyd. Di situ, ia cuma pekerja kasar dengan banyak pekerjaan. Serabutanlah. Dari kelasi sampai buruh kasar kapal, ujar Wahyu. Ia juga tak pernah bermimpi menjadi usahawan ketika pensiun muda dari Djakarta Dloyd. Malah, pria kelahiran Solo 55 tahun silam ini terpaksa menjadi sopir bemo untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tapi, Wahyu tak pernah putus asa, apalagi mengeluh.

Yang penting berdoa, berusaha, beriman, tekun, serta jangan malu menjalani pekerjaan apa pun, ujarnya. Sikap tekun dan tidak pernah malu itu masih dipegangnya walau sudah sukses menjadi pengusaha penyedotan tinja dan perhotelan. Di usianya yang tak muda lagi, Wahyu meneruskan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Kartini dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi. Kendati termasuk pekerja keras, Wahyu begitu percaya bahwa sukses yang diraihnya selama ini lebih karena faktor keberuntungan. Termasuk juga keberhasilan usaha penyedotan tinja yang ditekuninya selama lebih seperempat abad.

Bisnis saya ini maju karena 60% dari keberuntungan, sisanya kerja keras, ujar penggemar olah raga tinju dan bridge ini. Bersama Yulia, perempuan yang dinikahinya 28 tahun lalu, Wahyu berencana mewariskan kerajaan bisnis tinjanya kepada anak tertua yang baru berusia 19 tahun. Sudah waktunya memberikan pada Erik, kata ayah dua anak ini. Apakah ini juga ada hubungannya dengan peruntungan sang putra mahkota? Entahlah. Saya ingin istirahat dan menikmati hidup, ujar Wahyu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar